Sandiwara



SANDIWARA

“Prang”

Kali ini terdengar lagi suara pecahan barang perabotan rumah dari lantai bawah. Lewat tengah malam dan aku terbangun karenanya. Sebentar lagi, mereka mungkin akan membangunkan tetangga tetangga sebelah rumah. Kurasa-dan ternyata aku benar.  Ayah dan mama kembali berperang malam ini.

Kemarin guci kesayangan mama pecah, hari ini apa lagi? Piano ayah?

Aku turun terkantuk kantuk dari ranjang, sudah pukul setengah dua dini hari. Aku menguap puas tiga kali, berusaha mengumpulkan kesadaran dan keberanian. Mencoba menenangkan jantung yang mulai berdetak cepat, dan kurasa mungkin inilah saat yang paling tepat untuk melakukannya.

“Diaaaaaaamm!” Teriakku, didepan tangga. Ayah dan mama terdiam untuk beberapa saat, hening. Pecahan beling guci tersebar, satu potongan besar tepat dihadapanku.

“Zaki? Kamu bangun nak?” Mama bertanya baik baik, aku mencoba tak mengubrisnya.

“Kalo Ayah dan Mama begini terus, lebih baik aku mati aja” Aku menerkam potongan pecahan guci itu dan mengancam pergelangan tanganku dengannya. Memasang muka serius, sejauh ini aktingku cukup bagus. Ayo zaki, kamu harus bisa nangis. Gumamku dalam hati.

Dan Air mataku menetes perlahan, tanpa aku sadari. Kurasa ini bukan hanya akting. Tapi ini nyata, dan aku berhasil melakukannya.

“Untuk apa zaki hidup kalo zaki gapunya kasih sayang?”Tanyaku dalam isak, setetes darah mulai mengucuri pergelangan tanganku, tergores mungkin, sakit. Sungguh aku tidak berniat menyelakai tubuhku sendiri, tapi ini tidak sengaja.

“Untuk apa zaki hidup kalo tiap hari zaki liat Ayah dan Mama berantem?”

“Untuk apa zaki…” Sial! Aku lupa skenario nya! Aku lupa!

“Zaki sayang, jangan nak, jangan ngelakuin itu, itu dosa, dilarang agama” Sahut Ayah, mencoba menenangkanku, Raut wajah orangtuaku mulai panik, aku tertawa dalam hati.

“Agama apa ayah? Aku gapunya Agama!” Tegasku.

“Aku gabutuh agama! Aku gabutuh uang, Yang aku mau hanya kasih sayang dari kalian” Kataku dalam nada sendu. Sempurna sudah tanganku tersayat oleh Pecahan guci, tetesan darah membasahi lantai rumah, lalu perlahan semuanya menjadi gelap, gelap, aku takut gelap.

CUT!

“Itu tadi bagus banget, Good job!”

Perlahan lahan aku membuka mata dan tersenyum, membersihkan sisa sisa darah palsu  dengan tissue. Beberapa kru bertepuk tangan, ada yang menangis haru, mungkin kagum akan aktingku. Selesai sudah, itu adegan terakhirnya dalam film. Dan mungkin itu adegan terakhirku dalam hidup ini. Malam ini semuanya jelas. Didunia nyata, Ayah dan Mamaku  kembali berperang malam ini, dan kurasa aku sudah tau apa yang harus aku lakukan.

Comments

Post a Comment

Popular Posts