Lima


“Maaf” Kurasa hanya itu yang bisa terucap dibibir tipisnya. Dia diam seribu bahasa, membiarkanku berdiri terpatung disana, sendiri bersama hujan. Aku tak bisa menatap wajahnya, -takkan sanggup menahan gejolak yang bergemuruh didalam hatiku. Setelahnya, dia pergi, dan mungkin tak akan kembali kedalam kehidupanku, entah sampai kapan.

***

Malam itu hujan turun membasahi kota, membuat langit seutuhnya gelap berguntur. Cahaya berpendar dari lampu lampu penerang jalan, membuat jalanan basah mengkilap. Aku terjebak diantara kerumunan orang yang memenuhi halte bus, menunggu bus lewat atau hanya berteduh, mencari perlindungan dari derasnya hujan yang turun dari langit. Sudah Empat puluh lima menit aku disini, membiarkan dingin menusuk kulitku sampai keakarnya. Aku masih menunggunya disini. Setiap tanggal lima dibulan lima setiap tahunnya. Ditempat pertama aku mengenalnya dan ditempat terakhir aku berpisah dengannya, di Halte 5 ini.

Semuanya masih tampak seperti Tujuh tahun yang lalu, saat aku melihat sepasang bola mata yang indah itu, saat kulihat rambutnya yang panjang hitam, saat kulihat bibirnya yang tipis merah delima, aku terpana, aku dilema.

Namanya Lima, bukan sebuah angka, tapi sebuah nama. Lima Melati. Rupanya seindah namanya. Oval dengan hidung mancung, tulang pipi menonjol dan dagu yang tajam, sepasang alis tebal dan tatapan matanya yang dalam – bahkan terlalu dalam. Dia keturunan orang Arab, tapi berkulit putih. Ayahnya seorang pengusaha, ibunya seorang pembawa berita dari sebuah stasiun televisi swasta.

Dari sanalah aku mulai merasakan cinta dimasa mudaku –saat cinta baginya hanyalah sebuah kata yang bisa dipermainkan, tetapi tidak bagiku.

“Bahagia itu sederhana. Bahagia bagiku cukup hanya dengan bersamamu” Katanya ditahun pertama kami menjalin cinta. Ditempat yang sama. Menunggu bis kota sepulang sekolah.

Aku hanya mencium dagunya

“Bahagia itu relatif. Berbeda untuk setiap orang. Sekarang aku sudah cukup bahagia” Katanya ditahun kedua kami menjalin cinta. Ditempat yang sama. Sepulang Aku Menjemputnya dari Les Pianonya.

Aku hanya memeluknya sebentar

“Bahagia itu sedikit rumit. Cukup sulit untuk mendefinisikan bahagia saat ini” Katanya ditahun ketiga kami menjalin cinta. Ditempat yang sama. Menunggu bis kota saat aku mengajaknya makan malam yang mungkin amat teramat special bagiku.

Aku hanya tersenyum mendengarnya

“Bahagia itu rumit. Setelah kurasakan perlahan lahan aku ternyata keliru mendefinisikannya dahulu” Katanya ditahun keempat kami menjalin cinta. Ditempat yang sama. Menunggu bis kota saat kutemani dia membeli buku ditoko buku.

Aku hanya bisa terdiam mendengarnya.

***

Malam ini aku disini, ditempat pertama aku bertemu lima, ditengah aku bertemu lima, diujung aku bertemu lima. Mengenang masa dahulu –yang tak sempat dan tak dapat aku hapus dari memori ingatanku…

Medan, diujung senja. 05-05-2012

Comments

Post a Comment

Popular Posts