Cerpen - Kapas
Aku hanyalah gadis biasa.
Sangat sederhana. Disaat teman teman wanita ku yang lain penuh make-up
disekolah, memakai baju ketat dan rok pendek sekali, aku hanya bingung. Untuk
alasan apa mereka begitu?
Belum pernah kutanya
mereka satu persatu. Mengenalpun tidak semua. Aku sangat pendiam dan tertutup.
Tidak menggosip disaat waktu istirahat tiba ataupun jam jam kosong. Hanya
duduk, belajar, pulang. Tidak ada yang berani mendekatiku. Teman dekatpun tidak
ada. Paling dua-tiga orang yang menyapa, itupun kubalas dengan senyum. Tidak
lebih dari itu.
Sampai tiba saat aku
mengenal rasa itu. Cinta. Aku tidak tahu sejak kapan ada rasa itu muncul dan
menggerogoti hatiku, entah sejak kapan. Yang aku tahu, sejak saat itu semuanya
berubah.
Ada seorang anak laki-laki
yang elok rupanya. Sangat tampan laksana pangeran dari negeri dongeng.
Hidungnya mancung, alisnya tebal, matanya bulat, dagunya lancip, rambutnya
lurus. Senyumnya sangat manis, semua terasa sempurna. Entah kenapa aku baru
sadar kalau ada makhluk setampan itu dikelasku. Duduk paling depan. Saat itu
sedang mengambil nilai seni. Dia memilih menyanyi.
Duhai sungguh suaranya
seindah mukanya. Aku menatapinya lekat lekat, Raut wajahnya. Semuanya. Detik
detik berikutnya aku terpesona, hatiku berbunga bunga. Apakah kumbang itu yang
telah memekarkannya dalam hatiku?
Besok harinya semua
berubah. Aku mulai bersolek, memakai bedak, menjepit rambutku, tetapi tidak
berlebihan seperti teman temanku yang lain. Entah untuk alasan apa pastinya.
Hari hari berikutnya aku sedikit terbuka, mulai bicara satu dua kata, kalimat
demi kalimat, dalam dua minggu kepribadian ku mulai berubah.
“Membosankan ya?” Tanyanya
disecarik lembar kertas. Saat itu sedang diskusi kelompok mata pelajaran bahasa
indonesia. Aku sekelompok dengannya. Dan dia duduk disampingku, aku tertunduk
malu.
“Mana lebih berat di ruang
hampa, kapas satu kilo atau besi satu kilo?” Tanyanya lagi. Kembali dalam
secarik kertas. Aku melirik sedikit, mengambil pulpen dari dalam kotak pensilku.
Menjawab dengan malas tetapi dalam hatiku riang.
“Sama beratnya” Jawabku
dalam secarik kertas itu. Menoleh sekeliling. Kelas berisik sekali. Ibu guru
sedang sibuk didepan kelas, main laptop, entah
apa yang dikerjakannya. Akhirnya ia berdehem dehem menenangkan. Sempat hening
lima detik, kemudian kembali berisik.
“Antara kapas dan besi.
Kamu suka yang mana?” Tanyanya kembali dalam secarik kertas. Aku meneruskan
membaca kutipan novel di handbook bahasa indonesia. Masih belum menemukan watak
tokoh kutipan novel tersebut.
“Kapas itu putih, lemah.
Besi itu hitam, kuat. Coba percikkan air, kapas akan semakin berat, besi akan
semakin rapuh. Aku lebih suka kapas” Jawabku. Memberi secarik kertas kearahnya.
Lalu melanjutkan membaca buku. Aku bergumam, masih belum menemukan watak tokoh.
Padahal sebenarnya sangat sederhana. Protagonis pasti bersifat baik hati, suka
menolong. Antagonis pasti bersifat jahat, sombong. Apa susahnya? Tapi aku masih
belum mengerti, walaupun tersurat ataupun tersirat, aku tidak mengetahui apa
isi dalam hati tokoh tersebut. Bisa saja tokoh protagonis ini ternyata
antagonis diakhir cerita. Siapa yang tahu?
“Masih belum menemukan
watak tokohnya?” Tanyanya lagi dalam secarik kertas. Aku linglung, kenapa dia
bisa membaca pikiranku yang bingung?
“Sederet tanda tanya.
Watak tokoh bisa ditebak. Watak orang siapa yang tahu? Coba aku bisa membaca
pikiran tokoh ini seperti kamu membaca pikiranku. Antara Kapas dan Besi kamu
lebih suka yang mana?” Tanyaku. Sudah satu menit, dia masih belum membalas, ada
apakah gerangan? Aku risih, dia hanya diam sambil tersenyum. Manis sekali,
detik berikutnya bel berbunyi. Kelas riuh. Orang-orang berhamburan. Aku diam,
tak takut kesepian. Menunggu balasan kertasnya yang tak kunjung tiba.
Besok hari, satu kelas
heboh. Pangeran dari negeri dongeng itu meninggal. Bukan kecelakaan, penyakit
ataupun bunuh diri, tetapi meninggal tanpa sebab diatas tempat tidur. Sambil
tersenyum. Manis sekali, detik berikutnya aku bersedih hati, menit berikutnya
aku menangis sesengukan, jam berikutnya aku menangis meraung raung, hari
berikutnya aku merenung murung. Kembali menjadi gadis biasa yang sederhana,
tertutup dan menyendiri seperti kapas kering. Hingga suatu saat aku menemukan
secarik kertas didalam kotak pensilku. Lihatlah! Ternyata dia membalasnya.
“Aku lebih suka menjadi
air. Yang membasahi kapas sehingga ia menjadi berat. Yang membasahi besi
sehingga ia menjadi rapuh. Kamu kapas, aku air. Aku hanya dapat membasahimu
sebentar, perlahan tapi pasti, aku pasti akan pergi, dipenghujung waktuku, aku
pasti menguap dipanggil mentari, menjadi uap, awan, lalu hujan, menjadi air
untuk membasahi kapas dan besi lainnya yang sudah menungguku. Selamat tinggal”
Aku terdiam, menahan
tangis yang sudah diujung mata, pertanyaanku sudah dijawabnya. Aku sangat
senang. Aku lantas mengambil secarik kertas, menulis sesuatu diatasnya.
“Untuk air, aku akan tetap
menjadi kapas yang berat, meskipun tanpa mu, aku akan lebih terbuka, ceria
seperti gadis gadis lainnya. Selamat tinggal”.
Aku lalu mengambil secarik
kertas itu. Menenggelamkannya dalam hujan yang tiba tiba saja turun keseluruh
penjuru kota. Didalam hati, aku membayangkan ia tersenyum, manis sekali, detik
berikutnya berakhirlah kisah ini.
komentar penulis : *Oke ini cerpen yang rada aneh ya menurut gue, tapi kayaknya ngga jelek jelek amat buat yang udah lama ganulis cerpen, feelnya kurang dapet, gue nulisnya pas ngga hujan. Jadi mempengaruhi gaya nulis gue (?) tiba tiba aja tadi keinget sama kapas, yaa jadilah cerpen seperti ini wk :/*
Comments
Post a Comment