Hujan di Medan Senja
Hujan di Medan Senja
Hujan di Medan Senja,
Satu persatu air
dari awan kelabu yang menggantung diatas langit mulai menjatuhkan diri,
terhempas kedalam peluk bumi. Membuat jalanan becek, genangan air beriak riak
teriak. Senja yang harusnya hangat, menjadi dingin seketika. Dalam beberapa
saat saja, air dalam saluran pembuangan sudah memenuhi batasnya, membuat banjir
semata kaki orang dewasa. Matahari sudah meredup bahkan sejak tengah hari tadi,
gelap memenuhi seluruh penjuru kota itu. Hujan semakin lebat, dia masih disitu,
diemperan toko, entah menunggu siapa, kekasihnya? Atau hanya menunggu hujan
sirna…
Hujan di Medan Senja,
Tak
ada yang menarik perhatian orang dalam dirinya, hanya saja menarik perhatianku,
Rambut panjang bergelombang, mata bulat penuh dan tajam, tapi meneduhkan,
hidungnya tidak terlalu mancung, bibirnya tipis rapuh, dan dari sudut
pandangku, aku bisa melihat setopeng muka ramah. Tersenyum ketika ada yang
menatapnya atau melewatinya, dia tampak tenang, berusaha agar percikan hujan
tak buru buru membuatnya pergi dari emperan toko itu. Tapi itu tak sekedar muka biasa, aku bisa
melihat sekelebat rumit masalah dalam wajahnya. Siapa yang tahu? Aku bahkan tak
tahu namanya. Aku siapa? Hanya pengamat yang berteduh, tepat diseberang gadis
itu. Aku bukan siapa siapa, ini hanya secangkir cerita tentangnya.
Hujan di Medan Senja,
Kalau
kalian kira kisah ini seperti di ftv ftv yang tayang setiap hari di stasiun
telivisi swasta, mungkin kalian akan berpikir aku akan menyusulnya, menerobos
hujan keseberang emperan toko, mengajak berkenalan, ngedate, kemudian suatu
hari aku akan menyatakan perasaanku, sedikit konflik konflik dan ujung
ceritanya berakhir dengan happy ending. Kalau kalian berpikiran seperti itu, kalian
keliru.
“Hujan di Medan Senja,
Perkenalkan namaku Rindu, hidupku mungkin
hanya sebatas umur salju, yang mencair seketika saat terkena panas, menguap
lalu hilang, bersembunyi dibalik awan, dan turun menjadi hujan, enggan menjadi
embun yang terlalu takut menghadapi hari.
Mungkin semua
akan berakhir saat hujan di medan senja hari ini. Semuanya, bahkan segalanya,
semuanya akan berakhir, aku mungkin tak sempat mengucap salam terakhir pada
kedua orangtua angkatku yang merasa rugi telah mengangkatku sebagai anak. Aku
juga tak akan sempat mengucap salam terakhir pada laki laki bangsat yang telah
mengecewakanku, memberi nyawa diperutku tetapi sekarang mungkin sedang
bermesraan dengan mahasiswi muda dihotel tak jauh dari sini. Aku juga terancam
drop out dari sekolah kedokteranku, nilaiku hancur gara gara laki laki brengsek
itu. Tak juga melunasi hutang bank untuk biaya aku masuk kuliah, Aku dipecat
dari pekerjaanku dan sudah dua bulan aku mencari pekerjaan lain namun tak
mendapatkan satupun. Ya Tuhan, cobaan apa yang harus aku hadapi? Sungguh aku
sudah tak sanggup lagi.
Mungkin, saat
aku menulis ini, hidupku sudah diujung kata, tak perlu menunggu koma, tinggal
menunggu titik untuk menyelesaikannya. Satu karakter, titik. Aku memang masih
berharap bisa lulus dari semua cengkraman dan tekanan yang memaksaku untuk
jatuh, jatuh, dan semakin jatuh jauh kedalam perut bumi, aku sudah tak punya
harapan. Tak akan bisa menggapai permukaan.
Haruskah aku
benar benar berakhir disini? Hujan di medan senja, saat mentari tak mungkin
lagi muncul saat itu, saat semua harapan sirna. Biarlah aku menangis dalam
tangisan senja kali ini. Senja tanpa matahari. Senja berkabut yang kemudian
menangis, dan menangis sepuas dia menangis agar senja esok hari hangat dan
penuh harapan. Selamat tinggal.”
Hujan di medan senja,
Aku
termenung melihatnya, saat kutatap, sebulir air mata jatuh membasahi pipinya,
dia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas, melipatnya hingga bagian
terkecil, lalu membuangnya kedalam tong sampah. Segelintir kemudian dia tiba tiba
berlari kencang, menabrakkan dirinya pada truk yang juga sedang melaju kencang,
dan tewas seketika. Aku terpana. Tak tahu berbuat apa hingga akhirnya aku
menemukan selembar kertas yang dia buang kedalam tong sampah.
Hujan di medan senja,
Hujan
masih menangis hingga tengah malam, gerimis kecil, aku masih menggengam
lembaran kertas yang aku temukan, tak kunjung terlelap. Tak kunjung aku
terlelap.
suratnya berisi apaan dimz??? :D
ReplyDeleteisi suratnya yaa kisah yang warna biruu...
ReplyDelete*ehem*
ReplyDeletecerita ini butuh sequel.
I love this, like, really much.
Thanks... sekuel? mau jadi gimana ceritanya wk ._.
ReplyDelete